05 September 2008

ZAS, dalam Kenangan Brodkaster Jogja


Oleh: Dharma Lubis


Satu ketika, saya lupa kapan persisnya, saya dan seorang teman ngobrol via YM (Yahoo Messenger). Tiba-tiba teman yang bernama Mart itu bilang, “Saya jadi teringat Kak Zaenal, kamu masih ingat kan?” Saya pun menjawab, pasti saya ingat. Teman saya itu pun meminta saya untuk berkunjung ke blog Bung Daktur ARH, sebuah blog yang didedikasikan untuk mengenang beliau.


Ingatan saya pun melesat pada waktu saya ditawari turut serta dalam proyek mendirikan radio Punakwan Jogja dalam rangka pemulihan kembali secara psikologis masyarakat Jogja pasca gempa Mei. Sebelum proyek ini berlangsung, kami para sukarelawan yang diambil dari berbagai radio komunitas di Jogja, diberi bekal dalam bentuk pelatihan. Kebetulan materinya tentang peyiaran dan jurnalistik radio, yang rencana kerjanya dalam jangka waktu beberapa bulan saja.

Salah satu pengisi materi pelatihan itu adalah seorang yang sangat senior di dunia radio nasional. Seorang yang saat pertama kali melihatnya, muncul rasa segan. Bang ZAS, begitu beliau biasa disapa. Dengan baju kaos dan celana pendek nan santai membuat usianya yang terbilang sudah sepuh menjadi jauh lebih muda. Semangat hidupnya membuat rambut putihnya tak bermakna apa-apa. Satu yang paling saya ingat betul selain kumis tebal yang putih, adalah suara berat dan sedikit serak khas penyiar radio zaman dulu, dan mungkin keistimewaan suara seperti beliau yang jarang ditemukan sekarang.

Kalau ditanya seberapa saya mengenal beliau, jujur saja saya tidak terlalu mengenal dekat pribadinya. Wajar saja karena saya baru pertama kali bertemu dengan beliau saat itu, dan menjadi pertemuan yang terakhir. Hanya saja saya pernah diceritakan tentang pribadinya oleh teman saya itu. Kalau saya tidak salah, teman saya bilang, Bang ZAS itu selalu membawa setrika kalau berpergian. Sebuah kebiasaan yang unik menurut saya.

Kesan langsung yang saya terima tentang seorang Bang ZAS, beliau adalah sosok yang keras kemauan. Seorang yang tegas dan teguh pendirian. Ramah pada setiap orang yang dijumpainya. Juga memiliki selera humor yang boleh juga. Seorang jurnalis radio sejati dan tangguh. Seorang motivator dan pemberi semangat. Sosok senior yang tidak pelit berbagi ilmu dan pengalamannya bagi yang muda. Inilah yang harusnya dicontoh oleh broadcaster dan jurnalis muda saat ini.

Walau saya tidak lama terlibat dalam proyek tersebut, namun sempat mendapat sedikit ilmu dan pengalaman yang dibagikan beliau tentang penyiaran. Bagaimana membawakan sebuah talkshow di radio, menjadi presenter dan jurnalis radio yang baik.

Teman saya juga bercerita bahwa dia merasa sedikit menyesal, karena sebelum beliau menutup mata dan meninggalkan kita semua, beliau sempat menyatakan keinginannya untuk makan gudeg Jogja. Namun teman saya belum sempat mengabulkan keinginan beliau, di saat-saat terakhirnya tersebut.

06 Mei 2008

Memperingati 1 Mei: Mengenang Chun Tae-il

Oleh: Arthur John Horoni

Siapakah gerangan Chun Tae-il? Waktu itu, 13 November 1970, ia cuma seorang lelaki muda, buruh yang dibayar amat rendah, tukang potong pakaian di pabrik garmen di Pasar Damai, Seoul, Korea Selatan. Namun hari itu, buruh muda 22 tahun itu menorehkan tragedi yang mengguncang tidak saja Semenanjung Korea, namun dunia: ia membakar dirinya sampai mati, agar nasib buruh Korea berubah menjadi lebih manusiawi. Orang menyebut peristiwa itu sebagai sebuah bentuk deklarasi hak-hak manusia.

Cho Young-rae, penulis biografi Chun Tae-il mencatat: buruh melarat itu meninggal untuk menyingkapkan penderitaan para buruh pabrik yang miskin, sakit, kurang pendidikan, yang bekerja 16 jam sehari di lorong kecil berdebu. Mereka diperas tanpa rasa malu oleh para pengusaha. Tae-il menyatakan, manusia itu sama harganya, apakah ia buruh melarat ataupun majikan yang kaya-raya.

“Di zaman komodifikasi ini,” seru Tae-il, “zaman yang mengerikan, tatkala seseorang bisa merampas segalanya dari orang lain, aku tidak akan berkompromi dengan ketidakadilan seperti apapun, ataupun tinggal diam. Aku mau berjuang maksimal demi keadilan.” Dia berjuang dan mati.

Kaum buruh Indonesia yang selama 10 tahun reformasi ini juga berjuang bagi kehidupan yang lebih baik: ”Buruh berjuang! Delapan jam kerja sehari, 40 jam seminggu, buruh hidup berkecukupan.” Namun jauh panggang dari api. Upah buruh Indonesia masih rendah, jam kerja panjang, jaminan keselamatan kerja buruk, lembur paksa, out sourcing, pemberangusan serikat buruh dan ancaman PHK alias pemutusan hubungan kerja, membayang-bayangi mereka. Bahkan banyak aturan pemerintah termasuk undang-undang yang seharusnya memayungi buruh, diprotes oleh gelombang demonstrasi buruh karena justeru tidak pro buruh.

Kenapa nasib buruh seolah tak putus dirundung malang? Ibarat ujar-ujar pepatah-petitih nenek moyang: sudah jatuh ditimpa tangga lantas digigit anjing gila? Apakah petinggi negara ini lebih berpihak kepada para saudagar ketimbang ralyatnya? Apakah kaum kapitalis birokrat bukan cuma kelas yang hadir di jadul (jaman dulu) orde lama, namun muncul dalam bentuk yang lebih canggih hari ini? Boleh jadi. Namun kaum buruh juga perlu melakukan otokritik: apakah organisasi buruh yang ada cukup kokoh dan tahan uji?

Rasanya belum terlambat untuk belajar dari riwayat Chun Tae-il, pahlawan buruh Korea.

Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), pada 3 Mei 2008 akan meluncurkan buku yang mengharukan dari tokoh minjung (rakyat jelata) Korea ini. Acara, Dialog Publik dalam Rangka May Day 2008: Gerakan Buruh Indonesia Pasca 10 Tahun Reformasi dan Peluncuran Buku Biografi Chun Tae-il – Pahlawan Buruh Korea, akan berlangsung di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung Jakarta.

Catatan rinci Cho Young –rae ikhwal kisah hidup Chun Tae-il, perjuangan dan kematiannya dalam biografi ini, membangkitkan kembali hidupnya sebagai cahaya pemandu bagi gerakan buruh. Suara Chun Tae-il membangunkan kesadaran masyarakat yang terlelap dan acuh tak acuh terhadap penderitaan buruh. “Jangan biarkan kematianku sia-sia,” teriaknya saat api menjilat tubuhnya..

Presiden Chun Tae-il Trust, Moon Ik-whan menulis, “cerita sang buruh muda Chun Tae-il telah mencucurkan airmata 60 juta rakyat Korea. Airmata itu membentuk sebuah anak sungai yang mengalir sepanjang sejarah kita, sebuah sungai yang menghanyutkan dinding kematian.”

Saya ingin mengutip butir-butir filsafat perjuangan Chun Tae-il, uraian yang tidak ditulis oleh sarjana di “akademi menara gading”, tetapi oleh pemuda yang tidak tamat sekolah menengah, yang tinggal di gubuk di kawasan pemukiman liar di pinggiran kota Seoul. Melalui butir-butir permenungannya kita mendengar suara manusia yang hidup, berjuang penuh semangat walau sangat menderita.

Kita adalah kaum yang tersingkir. Karena itu harus sadar, bangun dari kebisuan.

  • Kita harus menjadi manusia merdeka yang merasakan sendiri, berpikir sendiri dan melihat dunia dengan mata sendiri, berdasarkan pengalaman sendiri.
  • Kita adalah minjung, rakyat jelata yang harus mengubah rasa rendah diri menjadi percaya diri. Rasa malu menjadi kebanggaan, ketakutan dan pengecut menjadi kemarahan dan keberanian, kebisuan dan pasrah diri menjadi kritis dan setia berjuang. Inilah filsafat yang mengubah budak untuk lahir kembali sebagai manusia.
  • Perubahan total dalam nilai-nilai kaum tertindas merupakan momentum yang memiliki arti yang dalam terutama ketika ia memilih jalan perlawanan dan perjuangan.
  • kita harus bertindak secara revolusioner, menjungkirbalikkan nilai-nilai mapan yang menindas dan berorientasi pada aksi. Berjuang menciptakan tatanan sosial yang saling menghormati sesama manusia. Sebuah masyarakat di mana tidak ada orang yang disingkirkan separti remah-remah yang terbuang, sebuah masyarakat di mana semua orang menjadi satu.
  • Kelemahan manusia adalah kurangnya harapan. Hakekat hidup adalah perjuangan, membuat hari esok lebih baik dari hari ini. Kebenaran adalah suara yang muncul dari hati nurani.
  • Perjuangan kita adalah demi mereka yang diinjak-injak, dilecehkan dan dihina. Semua akan melihat kemarahan yang tak terbendung kepada kelas mapan dan cinta kasih yang membara kepada saudara-saudara yang menderita, dari seorang yang lemah, yang bisa menghancurkan setiap benteng perbudakan.

Pengorbanan Chun Tae-il tidak sia-sia. Karena ia percaya, hanya perjuangan minjung-rakyat yang kompak bersatu dapat membawa kehidupan yang manusiawi. Hanya perjuangan kaum minjung yang dapat mengubah masyarakat. Karena itu, minjung-rakyat harus menjadi tokoh sentral dalam perjuangan.

Hari ini, memperingati 1 Mei, kita mengenang Chun Tae-il, yang di Korea diakui sebagai bapak serikat buruh demokratis. Kini gerakan buruh yang paling kuat di Asia adalah Konfederasi Serikat Buruh Korea (KCTU) yang sudah memiliki wakil di parlemen Korea Selatan.

Buruh Indonesia tak perlu malu belajar dari Chun Tae-il.

Medan, 1 Mei 2008

[Tulisan ini juga dapat dilihat pada Blog Jagat Alit]

26 April 2008

Dari Penyadaran ke Refleksi

Oleh: Arthur John Horoni

Jalan untuk Memperkuat Rakyat
Sebuah goresan pengalaman.

Urban Rural Mission (URM) menjunjung tinggi rakyat sebagai
tokoh dari perubahan dan sejarah.
(Rev. Dr.A. George Ninan, Bishop Nasik, India)

Pada mulanya arti kata “rakyat” bagi saya tak berbeda dengan pemahaman umum, yakni kumpulan orang-orang (individu). Ia sama saja artinya dengan kata “masyarakat”. Tahun 1972, di Surabaya tatkala bersama sekelompok kaum muda saya diringkus serdadu karena berdemo soal beras mahal, maka arti kata “rakyat” mulai sedikit khas: orang-orang yang kelaparan, bukan pejabat, serdadu dan tentu saja bukan pengusaha.

Selama bekerja sebagai “penyiar” di radio ARH Jakarta, lagu-lagu rakyat – saat itu, era 70 – 80 an, berarti nyanyian protes menjadi kesukaan saya. Konser rakyat Leo Kristi, Gombloh, Franky Sahilatua, Remy Sylado Company dan The Gang of Harry Rusli menjadi kegemaran lantaran syair-syair mereka mengemukakan sindiran, ironi atau paradoks tentang Indonesia. Dalam salah satu lagunya, dengan mengharukan Leo Imam Sukarno Kristi menyenandungkan nasib rakyat.

Hari itu di empat lima
Kami bernyanyi BAGIMU NEGERI
.........
Hari ini di kaki lima
Kami bernyanyi BAGIMU NEGERI

Pada periode ini, saya – sebenarnya agak malu mengakui ini – seperti seorang romantikus bulan purnama, bersimpati kepada nasib rakyat yang menderita... (He, he,he... sepertinya saya tak menderita ya ?).

Adalah Majalah Berita Mingguan FOKUS tempat saya bekerja sebagai redaktur, pada 1984 menurunkan laporan sampul 200 Orang Kaya Indonesia. Laporan ini sebenarnya hanya semacam paparan sederhana siapa saja yang menjadi kaya raya sejak Soeharto berkuasa tahun 1966. Ada di sana nama Liem Soei Liong, Bob Hasan, Prayogo Pangestu dan seterusnya. Eh, tahu-tahu majalah yang terbit sejak 1982 itu dibredel Harmoko, menteri penerangan saat itu. Alhasil, saya merasa menjadi bagian dari rakyat yang menderita.

Namun rakyat sebagaimana dipahami gerakan URM (Urban Rural Mission), barulah mulai sungguh-sungguh saya pelajari tatkala bergaul dengan teman-teman yang bekerja di tengah-tengah rakyat, antara lain Indera Nababan. Sejak 1985, Indera Nababan mulai mengorganisir kembali jaringan gerakan URM Indonesia di tengah-tengah kesibukannya sebagai Kepala Biro Informasi PGI dan Koordinator Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ), bagian dari Pelayanan Masyarakat Kota – Huria Kristen Batak Protestan (PMK – HKBP) Jakarta. Saya bergabung bekerja di Majalah Berita OIKOUMENE (sampai 1992) kemudian di YAKOMA PGI (sejak 1992).

Bagi gerakan URM, rakyat adalah orang-orang tertindas, terpinggirkan, tereksploitasi, termiskin. Mereka itu bisa orang miskin kota, petani yang tidak memiliki tanah, nelayan tradisional yang diterjang pukat harimau, buruh pabrik, buruh migran, kaum perempuan yang dinomorduakan. Mereka tersingkir karena alasan-alasan sejarah oleh kelompok masyarakat yang dominan. Nah, rakyat inilah menurut Rev. George Ninan, salah satu tokoh gerakan URM di Asia, yang semestinya menjadi tokoh dari perubahan dan sejarah. Pertanyaannya, bagaimana memampukan rakyat menjadi tokoh?

Dalam pertemuan-pertemuan nasional URM Indonesia sejak 1985 hingga 2000 disepakati berbagai upaya penguatan rakyat, antara lain Pelatihan Community Workers, pelatihan rakyat, perkunjungan (Exposure Program), seminar rakyat dan dialog publik. Kendati begitu, fokus kegiatan lebih menajam kepada pendidikan rakyat. Sejak dini Indera Nababan berulang-ulang menekankan, perubahan di Indonesia tidak mungkin terjadi bila tanpa keikutsertaan rakyat. Karena itu rakyat harus ”dibangunkan”, ”terjaga”, dari situasi pingsan karena penindasan yang dialaminya.

Di dunia ini, menurut Paulo Freire, terdapat dua jenis manusia. Jenis pertama, yakni, bagian terbesar, menderita karena ketidakadilan, sedang jenis yang kedua, yakni sebagian kecil, menikmati jerih payah orang lain secara tidak adil. Itulah situasi penindasan, situasi yang tidak manusiawi (dehumanisasi). URM Indonesia begitu yakin situasi penindasan terhadap rakyat Indonesia bukanlah takdir yang mesti diterima secara pasrah, namun suatu realitas yang bisa diubah. Rakyat memiliki naluri, kesadaran, kepribadian dan ungkapan diri. Ia mampu memahami keberadaan dirinya dan dunianya, dengan bekal pikiran dan tindakan ia mampu mengubah realitas dunianya. Untuk itu diperlukan pendidikan rakyat, yang merupakan proses berkeseimbangan dari penyadaran, dilanjutkan dengan pendidikan, pengorganisasian, aksi, sampai kepada refleksi.

Penyadaran.

Dari pengalaman pendidikan rakyat yang diselenggarakan URM Indonesia, ada dua bentuk ”permainan penyadaran” yang bisa membantu menjelaskan makna penyadaran: permainan ”orang buta dituntun orang melek”, dan permainan mencipta ”patung orang yang dibenci dan orang-orang yang disayangi”. Permainan pertama bermakna, proses penyadaran adalah memampukan orang dari situasi tidak melihat (buta) menjadi mampu melihat (celik). Bila kita buta, kita akan sangat tergantung kepada yang menuntun (tidak buta). Dia memperlakukan kita sesuka-sukanya. Orang yang sadar adalah orang yang berjuang mengubah situasi dari buta menjadi tidak buta.

Permainan kedua, mengajak rakyat memahami realitas, ada orang-orang yang kita ”sayangi”, boleh jadi karena keprihatinan kita terhadap nasibnya (yang buta sejarah, buta hukum, dan seterusnya), yang sebenarnya disebabkan oleh tindakan dari orang-orang yang kita ”benci”. Permainan ini mengajak rakyat menyadari, kesengsaraan mereka bukanlah takdir, namun disebabkan oleh tindakan dari orang-orang yang kita ”benci”. Permainan ini mengajak rakyat menyadari, kesengsaraan mereka bukanlah takdir, namun disebabkan oleh kesewenang-wenangan segelintir orang, yang mendapatkan peluang dari sebuah sistem atau struktur yang menindas.

Melalui dua permainan yang sejujurnya diinspirasi oleh permainan anak-anak, rakyat menyadari bahwa manusia terbagi dalam dua kelas: kelas penindas dan tertindas. Ia menjadi sadar, kebutaannya bukanlah nasib buruk, namun buah dari kesewenang-wenangan kaum ”berpenglihatan” yang suka menindas. Alhasil, langkah pertama dalam upaya memperkuat rakyat adalah penyadaran akan situasi penindasan sebagai realitas. Apakah ia menerima saja realitas itu sebagai takdir, atau mau mengubahnya. Andai ia mau mengubahnya, maka perjalanan atau pengembaraan dapat dilanjutkan.

Pendidikan.

Pendidikan popular atau pendidikan rakyat jelas berbeda dengan pendidikan di sekolah (formal). Pendidikan sekolah membelenggu murid, menempatkan murid sebagai objek dalam sistem pendidikan yang menyebabkan manusia menjadi komoditi bagi keperluan pembangunanisme. Sebaliknya pendidikan popular menempatkan rakyat menjadi subyek yang membebaskan dirinya dari belenggu ketertindasan. Paulo Freire, tokoh pendidikan rakyat asal Brasil menyebutnya sebagai pendidikan hadap masalah: rakyat diajak menggali pengalamannya. Belajar dari pengalaman itu rakyat menyadari situasi penindasan yang menyengsarakan, menggerakkan mereka untuk berjuang mengubah realitas (kenyataan) sesuai harapan dan cita-cita rakyat.

Pendidikan rakyat mengenal tiga tahap pengembangan.

Pengembangan sikap (attitude): rakyat diajak menggali dan menghargai pengalamannya, rakyat memahami realitas, dan pemahaman ini pada dirinya membangkitkan kreasi untuk mengubah realitas sesuai dengan harapannya. Pengalaman adalah sejarah rakyat. Ia tidak bisa dinafikan atau dihujat kendati penuh kepahitan. Ia perlu dipahami, dihargai kemudian diubah menjadi kenyataan baru. Rakyat hanya akan mampu mengubah kenyataan itu bila sikapnya juga berubah: dari tertutup menjadi terbuka, dari buta menjadi celik. Bila ia mampu menghadirkan dirinya atau mengaktualisasikan dirinya secara baru. Ia pada ujungnya menjadi percaya diri. Topik Aktualisasi Diri dan Spiritualitas memampukan rakyat mengekspresikan dirinya.

Pengembangan keterampilan (skill): rakyat dimampukan untuk terampil pertama-tama menganalisis ketertindasan yang dialaminya (analisis sosial). Kenapa situasi seperti ini terjadi? Apa sebab? Siapa penyebab? Kenapa rakyat selalu kalah? Apa sebenarnya akar permasalahan yang mengharu biru rakyat? Keterampilan kedua adalah tindak lanjut atas jawaban terhadap segudang pertanyaan analisis tadi. Yakni kalau rakyat sudah paham akan situasi, apakah dia mau berjuang untuk mengubah situasi itu agar menjadi realitas yang berbeda? Untuk itu ia memerlukan alat perjuangan, yaitu organisasi rakyat, organisasi dari, oleh dan untuk rakyat.

Pengembangan pengetahuan (knowledge), rakyat dimampukan mengembangkan pengetahuan sehubungan dengan upaya-upaya memperkuat dirinya. Topik bervariasi, dari politik, ekonomi, gender, budaya, sosial, komunikasi, demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan seterusnya. Tentu saja ini harus sesuai dengan kebutuhan dan disepakati rakyat. Ia tidak ditentukan oleh segelintir orang yang mengaku pintar.

Organisasi.

Langkah penyadaran dan pendidikan menggulirkan rakyat pada kebutuhan menggalang kekuatannya dalam upaya mengubah realitas atau ”dunia”. Dan kekuatan rakyat adalah organisasi. Inilah langkah ketiga penguatan rakyat.

Organisasi rakyat bukanlah organisasi yang dibentuk dengan mengacu kepada bentuk-bentuk mapan. Sekali lagi perlu disimak, ia lahir berdasarkan kebutuhan untuk menjawab permasalahan yang konkret. Organisasi rakyat berorientasi kepada masalah (isu) yang dihadapi rakyat. Karena itu ia harus (1) sederhana, (2) partisipatif dan (3) terawasi (terkontrol). Organisasi rakyat akan berkembang menjadi kekuatan besar tatkala berbagai organisasi dengan isu yang sama bergabung (koalisi, aliansi) menjadi gerakan yang dahsyat. Jadi organisasi adalah kekuatan rakyat, yang memampukan kaum tertindas mengubah kenyataan (realitas) penindasan, menjadi dunia baru yang sesuai dengan harapan atau cita-cita rakyat.

Fungsi organisasi rakyat adalah untuk (1) memperjuangkan hak-hak rakyat, (2) melindungi kepentingan rakyat, dan (3) menggulirkan perubahan bagi terwujudnya cita-cita rakyat.

Aksi

Hanya bila rakyat mampu menggalang kekuatan melalui organisasi rakyat yang berdaulat, ia bisa maju lagi dalam perjalanannya. Kali ini ia mengubah kehendak menjadi tindakan bagi mewujudkan harapan atau cita-citanya. Itulah langkah keempat, yakni aksi. Ini adalah muara dari perjalanan panjang sejak penyadaran tadi. Perjalanan itu harus ditempuh secara sistematis.

Dengan begitu rakyat tahu persis akan posisinya dan mampu memainkan perannya dengan baik dan benar. Banyak aksi rakyat gagal karena kegenitan aktivis yang tak mampu belajar bersama rakyat, lebih suka mendikte rakyat sesuai kepentingan sendiri. Tanpa melalui proses yang sistematis, aksi-aksi rakyat hanya akan menyenangkan para aktivis, menyebabkan frustasi di kalangan rakyat (karena lebih banyak kalahnya ketimbang menangnya). Aksi seperti itu hanya melahirkan aktivisme.

Aksi rakyat lahir dari perjalanan penyadaran, pendidikan dan penggalangan kekuatan. Aksi itu harus menghasilkan kemenangan-kemenangan bagi rakyat. Ia bermula dari kemenangan kecil yang kemudian berakibat besar, yakni mengubah potensi (modal) rakyat dan menghargainya. Aksi rakyat yang sistematis juga memungkinkan tampilnya pemimpin-pemimpin baru dari rakyat sendiri.

Pemimpin-pemimpin yang lahir karena kebutuhan perjuangan, bukan karena dititipkan dari ”atas”. Karena itu organsisasi rakyat harus benar-benar berangkat dari masalah-masalah (isu) rakyat dalam menyusun agenda aksinya, sehingga memungkinkan berlangsungnya formasi kepemimpinan sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama.

Refleksi.

Ada saat untuk bertindak (aksi), ada saat berdiam diri seraya bercermin. Itulah saat-saat refleksi. Refleksi terjadi hanya apabila ada aksi. Refleksi tanpa aksi melahirkan demagog atau pembual, cuma jago bicara, debat, diskusi, namun tak mampu melakukan apa-apa untuk perubahan. Sebaliknya aksi tanpa refleksi hanya menghadirkan para aktivis yang memang gegap gempita, namun sering jadi pecundang.

Tak dapat ditawar, usai melakukan perjalanan dari penyadaran, pendidikan, organisasi sampai kepada aksi, kita harus sejenak berhenti, melepas lelah, berdiam diri, merenung, bercermin dari semua proses perjalanan pengamatan tadi. Apa yang sudah dicapai? Adakah yang tercecer? Apa yang positif dan negatifnya? Pelajaran apa yang kita peroleh dari sana? Apa yang perlu kita kerjakan selanjutnya?

Langkah-langkah atau jalan penguatan rakyat secara sistematis, merupakan proses aksi – refleksi. Setia pada proses ini berarti memampukan rakyat mengembangkan dialog. Dan dialog yang dialektis, menurut Paulo Freire, senantiasa memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi perubahan.

Rakyat yang menjadi partisipan pelatihan-pelatihan URM Indonesia mempunyai kesan khas setelah mengikuti proses kegiatan.

Berikut beberapa kutipan:

  • Latihan ini sangat bermanfaat karena dari tidak tahu berorganisasi menjadi tahu, kemudian lebih paham pagi masalah hukum perburuhan. Ada nilai tambah dalam pelatihan, disamping saya menjadi semakin berani juga mengerti bahwa hak-hak manusia sangat besar nilainya. (Latihan Organisasi Buruh, Jetun Silangit, Siborong-borong, 19 – 22 Maret 2000).
  • Pendidikan ini perlu untuk para pemimpin organisasi. Rasanya mereka belum pernah mempelajari dan merasa sombong menjadi pemimpin. Latihan ini juga perlu bagi golongan atas. Setelah ikut latihan ada percaya diri dan ternyata tingkat pendidikan bukanlah menjadi penentu dan pedoman utama. Selama ini ada rapat di kampung, dan saya tidak bisa bicara seperti ini, namun sekarang saya bisa mengungkapkan keinginan saya dan semakin berani.(Lokakarya Pengembangan Kepemimpinan Rakyat, Nelayan Pantai Timur Sumatera II, 1 – 5 Februari 2000).
  • Saya termasuk anak nelayan yang sudah ikut pelatihan kemana-mana. Saya menemukan bahwa sistem yang sangat terorganisir dan sistematis dilakukan dalam lokakarya ini, Sangat terkesan dan ada spirit untuk menambah wawasan yang tidak bisa diungkapkan saat ini. (Lokakarya Pengembangan Kepemimpinan Rakyat, Nelayan Pantai Timur Sumatera II, 1 – 5 Februari 2000).
  • Apa yang saya dapat dari pelatihan ini akan dikembangkan di tempat lain. Saya juga mendapat arti jati diri sehingga arti kehidupan di dapat di sini, terutama dapat berkenalan dan bertekad untuk berjuang. (Pendidikan Organisasi Rakyat III, Tasikmalaya, 25 – 28 Mei 2000).
  • Terkesan dengan metode pelatihan dan belum pernah mengikuti pelatihan seperti yang diberikan. Materi yang diberikan berbobot dengan penyajian yang sederhana dan mudah diikuti, santai namun memberi arti. (Latihan Organisasi Rakyat I di Garut, 6-8 Desember 1999).
  • Pelatihan ini mempunyai nilai tersendiri atau istimewa. Melalui latihan ini bisa menjembatani konflik, menerobos jarak diantara kita dan akhirnya menjalin komunikasi, dan mendidik untuk bersama/bersatu. (Pelatihan Pengorganisasian Dasar Buruh, P.Siantar, 6-9 Juli 2000).
  • Fenomena baru yang selama ini tidak ada, saya temukan di pelatihan ini, Permainan orang buta dan peragaan dalam materi sangat bekaitan dan memberikan penyadaran bagi kita. Saya menemukan rasa peduli dan daya kritis yang semakin berkembang. Semoga dalam proses belajar, mengerti, mendalami diikuti pula dengan pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Tekad kita dalam pelatihan ini agar dilaksanakan dan dibuktikan setalah kita kembali ke tempat masing-masing. (Pelatihan Pengorganisasian Dasar Buruh, P.Siantar, 6 – 9 Juli 2000).
  • Terimakasih atas pelatihan ini dan satu kemampuan yang tidak disadari adalah mengaktualisasikan diri untuk mampu menjadi pelaku dari program/tujuan. (Pelatihan Pengorganisasian Petani di Bidang Pemasaran, P.Siantar, 1-4 Juli 2000).
  • Selama ini saya melihat perempuan selalu tampil tidak percaya diri, mulai sekarang saya akan menanamkan perempuan sama haknya dengan laki-laki dan mulai melatih diri sejak dini. (Lokakarya Kepekaan dan Kesetaraan Gender II di Tapanuli Utara, 12 – 15 Maret 2001).
  • Tekad saya untuk menerapkan demokrasi, transparansi di desa semakin kuat dan saya memohon kekuatan dari Tuhan untuk menjalankannya. Permintaan saya, di samping kepala desa perlu juga pelatihan untuk rakyat kecil seperti pedagang dan petani karena merekalah teman saya di kampung untuk diajak kerjasama. (Lokakarya Pimpinan Desa II di Tapanuli Utara, Tarutung, 4-8 Februari 2001).
  • Ada perintah dari kepala sekolah untuk mengikutinya. Kami awalnya mengelak, untuk ada gender. Setelah mengikutinya kami jadi menyesal dan merasa puas. Selama ini perempuan selalu merendahkan diri karena dikatakan perempuan hanya sebagai pendamping. Kami menjadi percaya diri setelah mengikuti lokakarya. (Lokakarya Kepekaan dan Kesetaraan gender IV di tapanuli Utara, Tarutung, 14-17 Mei 2001).
  • Bangga kepada fasilitator yang mau mengangkat derajat perempuan. Selama ini perempuan direndahkan dan hanya sebagai bahan pelengkap dalam adat. Setelah mengikuti lokakarya ini jadi mengerti apa itu kesetaraan gender. Jadi jangan hanya di sini saja melaksanakan lokakarya ini. Akan lebih baik diadakan di desa yang masih merendahkan perempuan. (Lokakarya Kepekaan dan Kesetaraan Gender IV di Tapanuli Utara, Tarutung, 14-7 Mei 2001).

Medan, 25 April 2008

[Tulisan ini juga dapat dilihat pada: http://jagatalit.wordpress.com]

10 April 2008

Pemimpin Tanpa Spiritualitas

Oleh: Arthur John Horoni

Billy, tiba-tiba aku kangen betul untuk omelin kau. Jangan kaget sobat, pasalnya aku sedih lantaran blog yang kau gawangi, Bung Daktur ARH, sepi berkepanjangan. Apakah sobat-sobat kita begitu sibuknya sehingga, bahkan menoreh sepotong ungkapan pun tak sempat? Di mana gerangan sembunyi Wanti, Wina, Munir, Untung, Sam, Endah, Bustami, Toto, Yulie, Dara Agustina, Sandra, Komar, Sammy, dst, dst? Atau lantaran cara kau kampanye tak dikemas sesuai selera pasar? Atau, jangan-jangan, semoga aku salah, mereka lebih afdol berkompetisi untuk proyek material sehingga emoh merawat sektor spiritualitas?

Dalam kenanganku, Bung Daktur, Mas Zen, yang sudah lebih enam bulan kembali kehadirat Penciptanya, adalah guru spiritualitas. Spirit, kita alihkan ke bahasa kita, semangat. Padahal lebih kena roh atau ruah: keyakinan yang teguh. Pada Bung Daktur, tatkala Bengkel Belia ARH dideklarasikan bulan Desenber 1975 di Pantai Cisolok, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, keyakinan yang teguh itu terpateri dalam idiom, “untuk Tuhan dan Tanah Air, kami berbakti”. Idiom itu diakuinya tidak orisinal miliknya. Ia mengutip Lord Baden Powell, Bapak Kepanduan Dunia. Maklum, zaman remaja (ABG, kata anak muda kiwari), Bung Daktur ikut kepanduan. Makanya dia memiliki itu tadi, spiritualitas. Entah kenapa setelah pandu menjadi pramuka, gerakan itu malah memble. Maaf.

Billy sobatku yang panjang sabar...

Aku rasa kita perlu memperbincangkan ikhwal spiritualitas ini. Bagiku, spiritualitas tidak identik dengan ajaran agama. Ia mengatasi tembok doktrin. Ia dapat saja ditemui dalam keutuhan iman, kearifan budaya lokal, sejarah, perjuangan rakyat tertindas untuk bertahan hidup, humor, puisi, tarian, nyanyian para sufi atau celoteh sederhana petani organik yang anti pupuk kimia dan bibit hibrida. Orang yang memilih sikap emoh terhadap roh-roh zaman macam: mamonisme (kemaruk duit), materialisme, konsumerisme, narsisisme, korupsi, gila kuasa dan sebangsanmya, tentu orang yang memiliki spiritualitas.

Nah, di sinilah soalnya. Nilai ini yang tampaknya sulit kita temukan, ia telah menjadi sesuatu yang luks di tengah-tengah trend pragmatisme atawa mumpungisme. Pada akhir dasawarsa 70-an sampai awal 80-an abad silam, tatkala kita bersama-sama Bengkel Belia ARH kamping di G. Salak atau di perkebunan di Subang, kau ingat, kita berlatih bagaimana menjadi demokrat dalam pemilihan kepala suku. Inspiratornya tentu saja Bung Daktur. Bayangkan, di tengah-tengah situasi otoriter Suharto waktu itu, kita sudah mempraktekkan attitude (sikap) anti mapan. Berani melawan arus, kata orang. Perdebatan dihalalkan, perbedaan pendapat diterima sebagai rahmat, ekspresi diri yang bebas dimuliakan. Ingat semangat perlawanan dalam Lomba Baca Puisi-puisi Tempe yang sarat sajak protes pada 1979 atau Aksi Musik ARH 80. Bengkel Belia ARH sudah berani pada saat Suharto dan Orbanya masih berjaya.

Tak pelak, karena kita dilandasi spiritualitas, kalau aku boleh berefleksi. Toh tak perlu kita sesali ketika ada yang tak tahan. Tatkala para senior kita memilih jalan partai politik, spiritualitas untuk memihak kepada kaum yang terpinggirkan, rakyat jelata, yang dalam puisi Taufiq Ismail digambarkan sebagai, “yang di pinggir jalan mengacungkan tangan kepada bus yang penuh,” tersingkir. Jalan pragmatisme menjadi pilihan. Apa boleh buat, kalau tidak sekarang, kapan lagi ikut-ikutan berkuasa. Celakanya, setelah reformasi bergulir sejak 1998, semangat mumpung orang partai malah semakin menjadi-jadi.

Kekuasaan menjadi dambaan, dan rakyat boleh makan janji kampanye saja. Rakyat Jakarta sudah digilas janji kampanye gubernurnya karena ternyata, kendati ahlinya sudah berjaya, banjir (ada hujan maupun tidak hujan), kemacetan jalanan, kesemrawutan tata kota, penggusuran rakyat jelata tetap saja jadi cerita sehari-hari. Rakyat Sumatera Utara dan Jawa Barat hari-hari ini juga lagi melahap janji kampanye. Sialnya, calon perseorangan belum dapat kesempatan, padahal calon yang dijagokan partai yang oligarkis dan sentralistik ini tak sesuai harapan rakyat. Padahal meraka bakal memimpin provinsi-provinsi itu lima tahun ke depan. Dan para politisi yang diusung partai-partai ini semua tak memiliki roh. Tak punya spiritualitas. Beragama pasti. Sangat taat. Tapi apa itu sudah jaminan memiliki spiritualitas?

Billy,

Maukah kau sejenak membayangkan negara yang para pemimpinnya tak memiliki keyakinan yang teguh, roh, untuk menyejahterakan rakyatnya? Tanpa spiritualitas kita berada dalam suasana anomali, tanpa pegangan, tak jelas mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Tak jelas etikanya, karena material jadi tujuan, dambaan, sementara mental-spiritualnya jadi pemanis bibir saja.

Tentu saja tak mudah merawat dan menumbuhkan spiritalitas, keyakinan yang teguh, sikap batin yang mengarah kepada penegakan hak dan martabat manusia. Seorang teman dulu pernah becanda, begini, “sobat, kita bisa berbeda agama tapi satu iman.” Aku kaget mulanya. Maksudmu? “Ya, iman kita kan keadilan, walau agama bisa berbeda.” Tapi bukankah semua agama mengumandangkan keadilan, perdamaian, persaudaraan dan penghormatan kepada alam ciptaan Tuhan. Ya, rohnya, spiritualitasnya begitu, tapi praktek banyak orang beragama tidak begitu.

Apalagi kalau sudah jadi politisi yang bercita-cita jadi penguasa. Rakyat cuma jadi kendaraan yang dibayar murah. Partai telah mengijonkan rakyat demi mendapatkan uang untuk biaya kampanye. Gosipnya, para calon pemimpin harus membayar pemimpin partai sekian M. Wow. Saat kampanye, setiap kepala manusia yang dikerahkan, mendapat nasi bungkus seharga 15 ribu rupiah ditambah uang transpor. Hitung-hitung Rp 100.000 sehari itu. Lumayan, ketimbang nggagur, kata rakyat. Padahal harga seekor kambing boleh jadi di atas Rp 500.000. Celaka, para politisi, para pemimpin tanpa spiritualitas, menghargai seorang rakyat lebih rendah dari seekor kambing! Kutuk apa gerangan ini, Billy?

Mungkin kita perlu bermimpi, suatu hari, entah kapan, siapa tahu saat negeri yang terlalu luas ini secara pragmatis memilih jalan republik federasi, akan muncul pemimpin yang mau belajar jujur pada dirinya sendiri, mau menghargai dirinya apa adanya, yang mandiri dan merdeka dari relasi kekuasaan penindasan, yang berani memilih berpihak kepada kepentingan rakyat, yang memiliki bela rasa, kepekaan dan keperdulian kepada rakyatnya yang sengsara (bukan yang berurai airmata lantaran nonton film, namun tak menangis saat ada ibu hamil mati karena kelaparan), yang menghargai waktu – tidak menunda-nunda keputusan penting, yang setia mendengar suara rakyat, yang selalu belajar dari sejarah (keledai saja tak pernah terperosok ke dalam lobang yang sama), yang sedia menjadi pelayan rakyat.

Karena menjunjung nilai-nilai itu, sang pemimpin pun dihargai, karena ia memiliki watak yang bijak. Ia memiliki keyakinan yang teguh untuk membangun bangsa dan negara bersama rakyatnya. Ia memiliki spiritualitas. Tak salah mulai dari mimpi ya? Mumpung belum dilarang.

Medan, 8 April 2008.

21 November 2007

Surat Elektronik buat Teman dari Seorang Brodkaster Manula


Oleh: Zainal Abidin Suryokusumo


Semula, saya ingin menggunakan judul: “Surat Elektronik buat Teman, dari Seorang Brodkaster Veteran”. Saya pikir-pikir, kok jumawa amat saya ini. Oleh sebab itu, saya tukar “brodkaster manula”. Toh, KTP saya pun nggak perlu lagi diganti. Berlaku seumur hidup. Surat elektronik ini, saya maksudkan sebagai pengganti sms saya, yang acap “membaweli” anda.


Daripada menjadi bisul di muka, mending saya bicara. Toh ini negeri merdeka. Ketimbang mengganjal dihati, maka saya memilih untuk berbagi. Teman, konon, merupakan tempat yang paling pas untuk saling berbagi perasaan. Dan surat elektronik, saya pilih untuk menyampaikan isi hati saya. Ungkapan perasaan yang saya sampaikan lewat surat terbuka ini, bukan merupakan barang baru. Namun tetap saja, merupakan masalah dasar dari keyakinan saya, berkenaan dengan pembangunan sistem media massa nasional yang bersifat demokratis. Suatu sistem media, yang mampu membawa bangsa menjadi masyarakat informatif, dan pada giliran berikut, mampu mengantarkannya menjadi masyarakat terbuka.


Ketika membicarakan masyarakat demokratis, sesungguhnya kita membicarakan masalah kemerdekaan warganegara. Dan kemerdekaan ini, acap dirumuskan sebagai hak-hak untuk berkomunikasi, berkaitan dengan: kebebasan berkeyakinan, kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi, serta kebebasan mengakses informasi. Para skolar komunikasi selalu menyebut: legal guarantees of fundamental Human Rights always name freedom of expression and the right to receive information as an essential principle. Oleh karena itu, kemerdekaan media, pada intinya haruslah mampu menyalurkan secara bebas arus informasi, dan arus pertukaran pendapat, guna menjamin hak rakyat untuk tahu.


Gerangan mungkinkah impian seperti itu terujud? Alhamdulillah, konstitusi kita telah beberapa kali di amandemen. Dan ketika kita mendiskusikan masalah hak-hak sipil dan politik serta sistem media demokratis di negeri ini, keyakinan saya mengatakan bahwa, rujukannya haruslah Amandemen Kedua UUD 1945. Lewat medium ini, konsentrasi sharing yang hendak saya sampaikan kapada anda adalah, mengenai pembangunan sistem media penyiaran nasional.


Perasaan saya Ihwal Amandemen Kedua UUD 1945 dan Pembangunan Sistem Media Penyiaran Nasional.


Pengalaman saya dari membongkar-bongkar kepustakaan berkaitan dengan upaya sesuatu masyarakat “teratur” membangun sistem media penyiaran, saya temukan dua masalah inti, yakni: pembangunan sistem media penyiaran, senantiasa bertolak dari konstitusi; dan media penyiaran bersifat more regulated , dibanding dengan media cetak.


Karenanya, di dalam dirinya, perundang-undangan tentang media penyiaran bersifat paradoks. Regulasi-regulasi itu di satu sisi bersifat membatasi, sementara di sisi lain regulasi itu juga, bukan saja menjamin kemerdekaan, tetapi juga harus memajukan media penyiaran.

Dalam pengamatan saya, ternyata UUD 1945, memberi landasan kokoh bagi pembangunan sistem penyiaran nasional, dengan menggunakan kedua kerangka berpikir itu.


Justifikasi Pengaturan Media Penyiaran.


Semua kita memahami bahwa, hukum memperoleh justifikasi teknologis untuk mengatur media penyiaran melalui suatu undang-undang, karena media ini menggunakan infrastruktur yang namanya gelombang radio. Konstitusi di semua negara “teratur” memastikan bahwa, gelombang radio merupakan ranah publik, yang dikuasasi negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 juga menganut paham ini, seperti yang ternukil pada pasal 33(3).


Pasal 33(3) inilah yang kemudian dijadikan titik tolak, dalam proses pengalokasian perizinan. Saya menggunakan terminologi alokasi izin, karena izin penyiaran dengan sendirinya mengandung hak penggunakan gelombang radio.


Siapa yang berhak menggunakan ranah publik itu? Semua warganegara. Amandemen kedua UUD 1947, mengenal hak-hak keadilan. Hal itu tampak pada pasal-pasal 28D(1), 28H(2) dan 28I(2). Equality rules seperti diperintahkan hukum dasar itu, bukan cuma mengharuskan ditegakkannya asas keadilan, namun mewajibkan pula asas tranparansi, dalam pengalokasian izin penyiaran.

Pasal 33(3) menegaskan; ranah publik dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika diterapkan ke dalam Undang-undang Penyiaran, anak kalimat “…dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,“ , diterjemahkan menjadi “…kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik “.

Siapa di antara warganegara yang mengajukaan lamaran mendapatkan perizinan, yang berhak memenangkannya? Pelamar yang paling mampu memenuhi kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik. Oleh karenanya, hukum kemudian menyatakan; pemegang izin penyiaran secara legal mendapatkan hak istimewa. Dan, karena menyandang hak istimewa, apabila didapati melanggar kepentingan, kenyaman dan kebutuhan publik, maka atas dirinya bisa dikenai sanksi. Sanksi terberat adalah pencabutan izin ( pasal 34(5) dan 55(2g) UU 32/2002). Proses perizinan dan pengenaan sanksi, masih akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Dalam catatan saya, penetapan PP berkaitan dengan perizinan perlu dicermati hal-hal:
  1. Asas keadilan;
  2. Asas transparansi;
  3. Kesebandingan jumlah stasiun dengan demografi suatu wilayah siaran.


Dalam beberapa kali diskusi saya menangkap gagasan; serahkan jumlah stasiun pada suatu wilayah siaran tertentu, kepada kekuatan pasar. Biar pasar yang menentukan mati-hidup sesuatu stasiun. Bila gagasan itu dimenangkan lewat Peraturan Pemerintah, saya harus mengatakan, asas penjagaan kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan masyarakat, akan sangat mungkin terabaikan. Karena – khususnya buat siaran komersial – tingkat pendapatan mereka, akan menentukan kadar mutu pelayanannya kepada publik.


Kemerdekaan Media Penyiaran


Media penyiaran, sebagaimana media lainnya, mengandung yang disebut sebagai public goods, yang dalam pemahaman saya, berupa isi media. Isi media ini pun, dijamin oleh konstitusi. Simak perintah pasal 28 UUD 1945, yang kemudian diperkaya dengan Bab XA yang terdiri dari 10 pasal, pada Perubahan Kedua konstitusi kita itu. Perlindungan konstitusional itu, tidak melulu diabadikan dalam pasal 28F. Tapi juga tersebar pada pasal-pasal 28C(1)(2), 28E(2)(3), 28I(1), (3), (4) & (5), dan 28J(2). Kesemuanya mengabadikan Hak Asasi Manusia.

Saya harus menyebut hak-hak sipil dan politik warganegara di luar pasal 28F. Lantaran, tiga basis kemerdekaan politik warganegara :

  • Kemerdekaan berbicara (28E(2));
  • Kemerdekaan berkumpul (28E(3));
  • Kemerdekaan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik (28C(2)); mustahil terlaksana tanpa adanya kemerdekaan media.

Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah kemerdekaan berekspresi. Dalam penetapan sejumlah Code – Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran – sebagaimana diwajibkan pasal 8 (2a) dan (2b), KPI seyogianya memahami bahwa: brodkaster bebas untuk menyiarkan program yang memuat issue apapun yang mereka pilih, namun tunduk pada:

  • Obligation of fairness and respect for the truth (pasal 8(3d) dan 36(4) UU32/2002).
  • Basic moral values (pasal 28J(2) Amandemen Kedua UUD 1945 & pasal 36 (3)(5)(6) UU 32/2002).

Saya sangat, sangat memahami, dalam penyusunan dan kemudian penegakan kesemua kode seperti ditetapkan UU 32/2002, KPI bukan saja bakalan menghadapi tantangan berat, bahkan tudingan sebagai penjelmaan Deppen. Untuk itu saya ingin menegaskan, dalam masalah penyiaran, kepentingan tertinggi ada pada sisi publik. Media penyiaran memang harus dilindungi, sejauh tidak melanggar kepentingan publik. Saya tidak takut menghadapi KPI yang “bergigi tajam”. Di negara-negara “teratur” regulator penyiaran, selalu disebut sebagai “quasi judicial tribuanal“, yang berwenang mengeluarkan regulasi, dan menjatuhkan sanksi. Ketidaktakutan saya terhadap KPI, karena ada jaminan UU 32/2003. Menurut UU ini, berlaku dobel kontrol terhadap KPI yakni; dari DPR (pasal 7(4)) dan masyarakat ( pasal 52(1)).


Saya bisa memahami ketakutan seorang teman, apabila KPI diserahi kewenangan ganda, baik sebagai penentu regulasi dan pengena sanksi. Karena pendekatannya, teori kuno yang disebut Trias Politica itu. Dunia “teratur” sudah lama menyadari, control from within – kontrol yang datang dari dalam, semata-mata antar lembaga-lembaga negara, dianggap tidak lagi memadai. Karena itu, kemudian dikenal pers sebagai Kekuatan Keempat. Teori ini pun, lama-lama juga dianggap usang. Harus ada kekuatan yang lain, yang mampu melakukaan kontrol, terhadap berputarnya roda penyelenggaraan negara. Pasal 28C(2) UUD 1945 tegas-tegas menyatakan: setiap warganegara berhak untuk berpartisipasi, dalam proses pengambilan keputusan.


Dunia penyiaran memang mengenal Code of Practices yang berlaku sebagai self-regulation. Itu dipraktekkan di Amerika Serikat. National Association of Broadcaster/NAB menyusun Kode Perilaku Penyiaran itu. Tapi coba kebet-kebet aturan-aturan FCC. Saya yang paling hafal, ketentuan FCC yang mengatakan: setiap stasiun penyiaran yang menurunkan editorial yang isinya menyerang seorang kandidat dalam suatu pemilu, dalam waktu satu minggu, wajib mengirimkan rekamannya kepada kandidat yang diserang tersebut. Menurut saya, keliru sekali pendapat yang mengatakan bahwa, kontrol isi penyiaran cukup berupa self-regulation. Kode etik, memang benar berlaku sebagai self-regulation. Di Amerika Serikat, kode etik penyiaran disusun oleh RTNDA – Radio Television News Director Association. Tapi tidak seabsolut itu dalam hal Code of Practice. Dalam contoh AS tadi jelas benar.


Dalam kasus Indonesia, UU 32/2002 menurut saya mengadopsi cara Inggris, yang sistem hukumnya dikatakan paternalistik itu. Saya seringkali heran, orang marah kalau kita harus mengadopsi sesuatu dari luar. (catatan saya untuk itu, memangnya hukum kita murni kelahiran Nusantara, kecuali Hukum Adat?). Pasal 90 dan 91 British Broadcasting Act 1996, menegaskan: pembuatan pedoman perilaku penyiaran merupakan wewenang baik ITC maupun RA (Inggris mempunyai dua otoritas penyiaran). Dan karena kita hanya memiliki satu badan regulator penyiaran, maka wewenang penyusunan Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran, oleh undang-undang dilimpahkan kepada KPI ( pasal 8(2a) dan (2b) UU 32/2002).


Agar tidak menyalahi ketentuan pasal 52(1) UU 32/2004, dalam penyusunan Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran, KPI harus mengikutsertakan masyarakat. Dan menurut saya Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran, seharusnya dikaitkan dengan proses perizinan. Artinya, pemohon izin harus menandatangani persetujuan terhadap keberadaan kedua produk KPI.


Mungkin saya salah; dan sungguh mati saya berharap begitu; media kita – teristimewa media elektronik - lebih cenderung mengolah informasi sebagai komoditas, ketimbang membuka ruang bagi publik untuk menyampaikan apa yang menjadi pikiran, perasaan dan harapan mereka dalam hidup berbangsa dan bernegara. Lantaran saya berasal dari rumpun media elektronik maka saya ingin mengatakan, keunggulan media penyiaran, terletak pada kemampuannya dalam menjaring umpan balik dari masyarakat secara segera dan serentak. Sampai sekarang pun ini tetap menjadi mimpi saya, bagaimana media penyiaran memanfaatkan keunggulan tersebut, sehingga suara rakyat tidak hanya terdengar sekali dalam lima tahun lewat pemilu. Tapi selalu bergema. Sehingga para pengambil keputusan di negeri ini sadar bahwa, mereka selalu “diintip” masyarakat.


Saya memahami kemerdekaan media, bukan berarti glorifying violence dan life-style yang sungguh aduhai ditengah-tengah kemelaratan mayoritas manusia Indonesia, karena alasan rating tinggi, dan oleh sebab itu laku-jual. Bagi saya, kemerdekaan media lebih mengandung free flow of information and exchange ideas, guna memenuhi hak rakyat untuk tahu. Saya yakin, bila hal itu dilakukan media kita, masyarakat kita yang sungguh sangat beragam ini, tidak akan teralienasi satu-sama lain.


Keputusan Mahkamah Konstitusi.


Seingat saya, baik melalui sms maupun telepon, ada dua orang teman yang mengatakan, bahwa keputusan MK konstitusional. Seorang teman malah merujuk pada pasal 5 (2) Perubahan Pertama UUD 1945. Tatkala saya buka konstitusi dan saya baca pasal tersebut, memang benar, penetapan Peraturan Pemerintah berada di tangan Presiden. Jadi yang salah bukan keputusan MK. Tapi UU Nomor 32/2002 yang menetapkan; untuk menjalankan undang-undang ini, maka dibuat ketentuan lebih lanjut yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut seperti tercantum pada pasal-pasal 14(10), 18(3 & 4 ), 29(2), 30(3), 31(4), 32(2), 33(8), 55(3), dan 60(3) itulah, yang ditafsirkan MK sebagai Peraturan Pemerintah. Sedangkan pasal-pasal 11(3) dan 12 yang mengatur tata cara penggantian anggota KPI dan pembagian kewenangan dan pengaturan tata hubungan KPI Pusat dan KPI Daerah, tidak tersentuh keputusan MK.


Yang menjadi pertanyaan saya, apa yang sesungguhnya membedakan KPI dan KPU, sebagai sesama independent regulatory body? Yang membedakan adalah bidang kerjanya. KPU juga dinyatakan sebagai badan regulator yang bersifat independent, seperti dirumuskan dalam pasal 15(1) UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum. Menurut UU No 12/2003 KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, diberi kewenangan menyusun ketentuan guna melaksanakan undang-undang ini. Sekedar contoh, bisa dilihat di pasal-pasal 75(9), 77(3), 81(2), 85(3), 87. Dalam pasal-pasal UU 12/2003 itu, sama sekali tidak disebut-sebut KPU harus menyusun ketentuan itu bersama pemerintah. Itulah yang membedakannya dari KPI. UU 32/2002, yang mewajibkan KPI menyusun ketentuan bersama pemerintah. Dan pasal 62(1) telak-telak menyebut “…ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah “. Dugaan saya, kecelakaannya terletak di situ.


Sepengetahuan saya, hakim – termasuk hakim MK – berhak membuat hukum, dengan memberi makna pada pasal-pasal undang-undang, guna menciptakan keadilan. MK telah melaksanakan itu, dengan merujuk pada pasal 5(1) Perubahan Pertama UUD 1945, persis seperti bunyi pasal itu. Dan keputusannya: final. Secara berseloroh sejumlah teman saya sms dan saya katakan; Hanya ada Tuhan diatas MK. Dan seorang teman, via telepon; protes.


Peraturan Pemerintah untuk Menjalankan UU No 32/2002.


Tanpa ada Keputusan MK yang mencabut pasal 62 (1) & (2), UU No 32/2002 memang bersifat kontroversial. Potensi kotroversi dalam pandangan saya terutama terlihat pada pasal 33(4C), (4d) dengan pasal 33(5), yang mengatur proses perizinan. Namun, dengan adanya Keputusan MK, saya hampir-hampir yakin, perdebatan itu dapat diredam melalui PP seperti ditetapkan pada pasal 33(8). Dengan kata lain, bila ada perbedaan pendapat antara KPI dan Pemerintah, tentang pemohon mana yang memenangkan perizinan, maka yang akan dimenangkan adalah pemerintah. KPI yang dinyatakan sebagai wujud peran serta masyarakat ( pasal 8(1)), akan terpinggirkan. Semoga dugaan saya salah besar.


Kontroversi berikutnya ada pada pasal 37, yang mewajibkan media penyiaran mempergunakan bahasa Indonesia. Yang harus dipertanyakan, undang-undang ini memungkinkan lahirnya siaran berformat etnik – komersial ataupun komunitas – berbahasa etnik Indonesia tertentu atau tidak? Pasal 34(4) pun, pada pikiran saya menyimpan masalah yang sangat bisa diperdebatkan. Saya memiliki saham pada stasiun tertentu, menurut pasal ini – termasuk penjelasannya – kalau saya mati, tidak membolehkan saya mewariskan saham saya pada anak-anak saya. Pertanyaannya adalah, siapa yang akan memiliki saham saya? Modal yang dahulu pernah saya tanamkan, dan kemudian berbuah, siapa yang berhak menikmati? Bila pasal 34(4) ini tidak dicermati, saya khawatir akan terjadi perampasan hak pribadi, atas nama hukum.


Tentang wilayah siaraan UU No 32/2002 dalam pasal 31(5) menyatakan, stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut. Penjelasannya; “cukup jelas“. Melihat pengalaman negara lain yang telah cukup advance perkembangan penyiarannya, ketika menetapkan suatu wilayaah siaran, pada galibnya mereka tidak melulu mengukur dari wilayah administratif pemerintahan, melainkan meninjaunya dari besaran pasar. Jumlah stasiun pada satu wilayah siaran, akan dibatasi sesuai dengan demografi lokal tersebut. Itu pengalaman di negara lain. Bagaimana PP akan mengatur masalah ini? Pengalokasian perizinan, senantiasa dilakukaan secara adil, dan transparan. Saban warga, berdasarkan equality rules, dijamin Perubahan Kedua UUD 1945 pada pasal-pasal 28D(1), 28H(2) dan 28I(2). Akan diterjemahkan seperti apa oleh Peraturan Pemerintah yang segera akan terbit itu?


Hukum Indonesia, tidak mengharamkan Peraturan Pemerintah, untuk mereduksi undang-undang yang hendak dilaksanakan. Apalagi menyunat perintah konstitusi. Kalau hal itu terjadi, saya terpaksa harus mengatakan; pemerintah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi.


Sesuai dengan kehendak UU No 32/2002 pasal 52(1): “warganegara Indonesia memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional“. Saya ingin menyerahkan kepada anda, teman, untuk memaknakan perintah pasal itu tadi.. Tapi tentu saja saya punya harapan dari anda, untuk dalam jangka pendek ini, memberi sumbang saran bagi kelahiran Peraturan Pemerintah guna melaksanakan UU No 32/2002. (Ingat perintah pasal 28C(2) UUD 1945, dan pasal 52(1) UU 32/2002 itu tadi). Dan dalam jangka panjang, mengamandemennya. Suatu pikiran yang saya rasa pada saat ini, bisa jadi mengundang cibiran. Namun saya yakin, waktu itu akan datang juga. Seingat saya, Inggris 6 kali melakukan perubahan atas undang-undang penyiaran mereka. Amerika Serikat, tiga kali.


Sahibulhikayat.


Sejumlah teman saya kira masih ingat, ketika pada tahun 98, kita kumpul di Bumi Wiyata Depok, pada saat PRSSNI mengundang sejumlah tokoh perguruan tinggi membicarakan rancangan undang-undang penyiaran, pengganti UU Penyiaran No. 24/1997. Saat itu, tatkala UUD 1945 masih wungkul seperti apa adanya, dan TAP MPR No 17/1998 tentang HAM, belum lagi keluar, seorang pakar hukum ketetanegaraan kondang dari UI berujar: “Jangan anda mimpi, melahirkan sesuatu undang-undang dengan menyerahkan kewenangan pelaksanaannya pada apa yang anda sebut sebagai Badan Regulator Independen “. Itu pil pahit pertama yang saya kunyah-kunyah. Dalam perjalanan berikutnya pun, bersama teman-teman MPPI, banyak pengalaman yang bisa jadi tidak menyenangkan kala itu. Termasuk pengalaman PRSSNI/MPPI mencegat UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi.


Saya terbiasa kalah. Namun oleh lewatnya waktu, kini terasa manis. Lantaran, kekalahan masa lalu; pengalaman-pengalaman itu; ternyata telah memperkaya batin saya, dan saya yakin, juga batin teman-teman Komunitas Kebon Sirih.


Alhamdulillah, konstitusi kita telah mengalami perubahan sehingga menjamin ruang kebebasan bagi warganegaranya. Modal konstitusional, sudah ada di kantong, setidak-tidaknya. Dan karenanya, kita tidak lagi menjadi “minder” mempermasalahkan hak-hak warganegara.

Saya malu mengatakan “ Selamat berjuang “. Saya ganti saja deh, sebagai takzim saya kepada anda: Tabik, teman-teman.


Jakarta, 30 Juli 2004.

Zainal A. Suryokumo.


[Catatan Kuncen: Tulisan ini, merupakan email yang dikirimkan almarhum Zainal Abidin Suryokusumo kepada rekan-rekannya para anggota KPI, pada tanggal tersebut diatas. Arsip email ini ditemukan Tantri Suryokusumo, puteri almarhum, di dalam laptop peninggalan Bung Zainal. Tantri kemudian mengirimkannya ke Blog Bung Daktur ARH).

19 November 2007

Ketika Rakyat Bermain Peran

Oleh: Arthur J. Horoni

Gerangan apa yang dihasilkan “perubahan”, kata kunci dari hingar bingar pemilu (legislatif dan presiden) 2004? Ternyata cuma (menurut Prof. Dr. Hotman Siahaan); ontran-ontran demokrasi. Rakyat masih mengalami kekerasan kultural maupun struktural dalam kehidupan politik, manakala menyaksikan para politisi yang menjadi wakil rakyat menjadi “orang-orang kaya baru” – apakah melalui praktik nepotisme, kolusi, ataupun korupsi – berbarengan dengan itu telah meruntuhkan sebagian besar konstituen menjadi “orang-orang miskin baru”.

Orang-orang miskin baru ini boleh jadi hidup di tengah paradoks. Di satu sisi mereka penyabar, menerima nasib sengsara sebagai takdir atau karma. Namun di sisi lain, mereka sadis: membakar hidup-hidup seorang maling. Mereka juga pemberang, karena menganggap sistem yang ada tidak adil, koruptif, yang membuat bagian terbesar rakyat jadi kehilangan, tersingkir, tertindas.

Toh bukan mustahil muncul juga kelas rakyat yang tampil beda. Mereka bukan penyabar, tak pula pemberang. Namun nakal, mbeling, kalau pinjam terminologi Remy Sylado. Kelas ini menertawakan situasi, dan tak berhenti sampai di situ. Mereka coba-coba bermain peran. Andaikan aku bukan “orang-orang miskin baru” namun “orang-orang kaya baru”, seperti apa aku menghayati dan menikmati situasi itu?

Tokoh-tokoh inilah: rakyat mbeling yang bermain peran itu, yang mencuat lewat syair-syair Nyanyian Anti Korupsi. Kolaborasi Untung Hadi Makalidirdja dan Yopie Doank ini, menghasilkan aktor-aktor teater rakyat yang karikatural dan ceriwis .

Aku ini anak negeri
Aku punya hak asasi
Aku ingin jadi menteri
Akan kubangun pabrik panci
Agar rakyat selalu memuji
Kalau aku jadi menteri

Anakku sekolah di luar negeri
Buang duit aku tak peduli
Sebab jabatan satu posisi
Dan itu hal yang manusiawi

(Nyanyian Anak Negeri, Untung HM/Yopie Doank)

Bermain peran adalah salah satu media yang atraktif dalam membangun kesadaran kritis rakyat. Melalui metode ini rakyat dimampukan menganalisis situasi yang dihadapinya, mungkin sektoral, namun bisa juga sampai ke nasional ataupun global. Karena itu, berbeda dengan model protes yang asal memaki-maki, bermain peran meniscayakan orang berefleksi, menilai apa yang sudah terjadi. Proses ini mengundang orang melakukan perenungan.

Untung Hadi Makalidirdja, saya kenal sejak besama-sama bekerja di Radio ARH Jakarta era media 70-an hingga awal 80-an abad XX. Ia pengagum seniman Betawi kesohor Benyamin S. dan budayawan Remy Sylado. Terbilang fans berat. Cara dia menyanyi di album ini – lepas dari perkara kaliber – sangat dipengaruhi kedua tokoh tadi. Sepanjang yang saya ingat, ia gemar mengemas bentuk-bentuk media ekspresi yang substansinya menyoroti persoalan-pesoalan sosial. Jadi saya tak terkejut menonton dia membaca puisi ikhwal bencana Aceh di TVRI bulan Februari 2005 silam. Dia menulis puisi “pamflet” yang cukup menyentuh. Namun waktu mendengar dia mau menyanyi, saya kaget. Kok berani-beraninya dia, padahal suaranya pas-pasan.

Namun siapa bisa melarang kawan ini? Kendati dari sudut penyajian – terutama vokalnya Untung – biasa saja, namun dari sudut tematik cukup merangsang imaji justru karena memanfaatkan metode main peran (role play) itu tadi. Dari pengalaman melakukan pelatihan media ekspresi rakyat bersama organisasi rakyat di pedesaan Jawa Barat, Kalimantan dan Sumatera Utara, isu-isu sosial yang menyangkut hajat hidup rakyat jelata mantap sekali dimainkan. Tema-tema ini bisa dikemas dalam nyanyian, puisi, tarian maupun teater rakyat. Rakyat mencipta cerita dan menjadi peraganya sekaligus.

Selain kejelian memilih metode, ada dua hal lain yang perlu diapreasiasi dari album ini: kepekaan terhadap nasib kawula jelata – omong kerennya di situ pesan oralnya – dan kemampuan mencipta sekaligus memperagakan tentu saja lepas dari ukuran kaliber. Jadi, coba bayangkan bila sang rakyat berubah peran menjadi raja:

Aku ingin bermain sandiwara
Jadi paduka yang maha raja
Duduk bersila disinggasana
Melihat rakyat yang menderita

...

Aku ini rentetan cerita
Jadi raja yang punya tahta
Perdana Menteri selalu kuperintah
Rakyat miskin jangan banyak bicara

Tak pelak, sang rakyat “menikmati kemahaberkuasaan” raja, kemudian menertawakannya :

Tutup layar tutup lakon
Ini cerita hanya guyon
Paduka rakyat mohon permisi
Menteri-menteri rebutan kursi

(Keroncong Orba)

Sayang dalam beberapa syair lagu, terutama dalam Blues Buat Sang Isteri dan Salah Comot. Untung terjebak dalam pandangan stereotype yang merendahkan perempuan sebagai penyebab bencana. Ini jelas-jelas mengundang perdebatan karena bias gender dan cenderung menstigmatisasi perempuan sebagai sumber keamburadulan kehidupan. Apa boleh buat, laki-laki Indonesia masih berada di bawah tempurung budaya patriarki, apalagi bila dilegitimasi oleh doktrin agama.

Namun, lepas dari itu semua, inilah sosok Untung Hadi Makalidirdja, sobat saya, plus minus. Ia telah mengusung karyanya, bermain peran bersama rakyat dan saya turut girang menyambutnya. Karena itu catatan saya mesti berhenti di sini.

12 November 2007

Foto Bersejarah: Bung Zainal dan Fosko '66


Oleh: Billy Soemawisastra

Ini mungkin termasuk foto paling bersejarah yang masih kami miliki. Foto ini diambil beberapa saat setelah usainya musyawarah kerja Fosko '66, sekitar tahun 1980. Dan, mereka yang terpampang di foto ini, adalah para pengurus Fosko'66, yang sebagian besar merupakan Angkatan '66 (KAMI dan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim). Beberapa di antaranya, dikenal sebagai politisi tingkat nasional dan tokoh pemerintahan. Sebut saja misalnya, almarhum Ekky Syahruddin (berdiri, nomor 5 dari kanan). Mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan mantan Sekjen PB-HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) era kepemimpinan Nurcholish Madjid itu, sebelum meninggal dunia tahun 2006, adalah Duta Besar RI untuk Kanada, anggota DPR-RI dan fungsionaris Partai Golkar.


Kemudian (berdiri) nomor 7 dari kanan, adalah Fahmi Idris (kini Menteri Perindustrian RI) mantan Komandan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (ARH). Dan, berdiri nomor 6 dari kanan, adalah almarhum Amir Biki. Tokoh kontroversial yang pernah menjadi salah satu Ketua Umum Fosko '66 itu, tewas pada suatu bentrokan senjata dengan aparat keamanan di tahun 1984, dalam insiden yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Priok.

Di dalam foto ini juga tampak beberapa penyiar Radio ARH 70-an dan 80-an, seperti Dedi S. Pardi (nomor 3 dari kiri), Sammy Marcus (nomor 4 dari kiri), Arthur John Horoni (nomor 7 dari kiri), Billy Soemawisastra (nomor 9 dari kiri), Zulkifli Ibrahim (nomor 4 dari kanan) dan Rahmat Ismail (nomor 8 dari kanan). Tampak pula almarhum Louis Wangge (nomor 8 dari kiri), mantan komandan Laskar Ampera ARH, yang dikenal sangat "keras" sikapnya terhadap pemerintahan Orde Baru.

Last but not least, Zainal Abidin Suryokusumo (duduk di tengah). Waktu itu, selain menjadi penanggung jawab Radio ARH, Bung Zainal juga berperan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Fosko '66 selama beberapa periode.

Fosko (Forum Studi dan Komunikasi) '66, pada mulanya merupakan sebuah grup diskusi yang beranggotakan para eksponen Angkatan '66. Para pendirinya adalah: Fahmi Idris, Louis Wangge dan Zainal Abidin Suryokusumo. Secara rutin, setiap minggu, kelompok ini menggelar diskusi-diskusi mengenai berbagai permasalahan politik yang sedang hangat, dan kemudian dijadikan bahan masukan untuk organisasi-organisasi politik, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.

Dalam diskusi rutin ini, Fosko '66 tak jarang mengundang para politisi sipil dan militer (termasuk yang duduk di pemerintahan) untuk tampil sebagai narasumber, sehingga komunikasi dengan berbagai kekuatan politik saat itu terbilang lancar. Saat itu, Fosko pun menjadi kelompok yang cukup disegani. Kredibilitasnya boleh dikatakan sejajar dengan CSIS (Centre of Strategic for Indonesian Studies) dan Fosko-AD (Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat).

Berkat kredibilitas yang dimilikinya, Fosko '66 sering berperan sebagai "jembatan" yang menghubungkan organisasi-organisasi ekstra mahasiswa dengan pemerintah. Maklum, sejak Pemerintah (cq. Menteri Pendidikan & Kebudayaan Daud Yusuf) memberlakukan kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang melarang kegiatan politik praktis di kampus-kampus, organisasi-organisasi ekstra mahasiswa seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) menjadi semakin sempit "ruang gerak"nya.

Selama beberapa tahun, organisasi Fosko '66 menggunakan sistem presidium. Ketua presidiumnya bergantian secara periodik di antara tiga tokoh utamanya, yakni Fahmi Idris, Louis Wangge dan Ekky Syahruddin. Sedangkan Sekjennya, selalu dijabat oleh Zainal Abidin Suryokusumo. Bahkan setelah sistem keorganisasiannya diubah menjadi "sistem ketua" dengan ketua umumnya Amir Biki, sekjennya masih tetap dipercayakan kepada Bung Zainal. Ini menandakan bahwa Bung Zainal-lah, sebenarnya motor utama Fosko '66.

Belakangan, kepentingan politik sebagian besar anggotanya, semakin mewarnai perjalanan Fosko '66. Sehingga dalam musyawarah kerjanya pada sekitar tahun 1982, Fosko '66 yang semula beritikad menjadi moral force (kekuatan moral) yang berfungsi sebagai pressure group (kelompok penekan) terhadap kekuatan-kekuatan politik termasuk pemerintah, berbelok haluan menjadi political force (kekuatan politik). Dalam arti, ikut bermain di kancah perpolitikan, baik sebagai pribadi-pribadi maupun sebagai organisasi.

Kondisi ini mengakibatkan friksi-friksi di dalam tubuh Fosko '66 tak bisa dihindarkan lagi, sehingga muncullah faksi-faksi (sayap) politik. Ada sayap Amir Biki dan Salim Kadar yang berafiliasi ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Ada faksi Fahmi Idris dan Ekky Syahruddin, yang memilih Golkar (Golongan Karya) sebagai kendaraan politiknya. Tak lama kemudian, Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim, yang merupakan faksi terbesar Fosko '66, menyatakan diri bergabung dengan Golkar, ketika organisasi politik pendukung pemerintah ini dipimpin Wakil Presiden Soedharmono.

Lalu ke mana Bung Zainal? Dunia politik praktis bukan pilihannya. Begitu Fosko '66 menyatakan diri sebagai kekuatan politik, Zainal mengundurkan diri dari organisasi yang ikut dibentuknya itu. Impiannya menjadikan Fosko '66 sebagai kekuatan moral intelektual yang disegani semua kalangan, pupus sudah. Ia pun "minggir" dan memilih untuk lebih menekuni dunia penyiaran, dan gigih memperjuangkan hak-hak pekerja pers. Namun peran ini lebih banyak dijalankannya di belakang layar. Ia tidak suka menonjolkan diri.

Di mana Fosko '66 sekarang? Organisasi itu, konon masih ada. Tapi hanya tinggal sekedar nama, yang semakin pudar, dilupakan orang. Seperti pudarnya foto di atas, yang semakin kusam, semakin rapuh. Namun masih menyimpan banyak kenangan.